Kamis, 15 Oktober 2009

Penyu Hijau (Chelonia mydas)


Penyu hijau (Chelonia mydas), tubuhnya memiliki 4 pasang “lateral scutes” yang sangat jelas dan juga 1 pasang “prefrontal scutes”. Selain itu morfologi diagnostik penyu hijau adalah disetiap sirip dilengkapi dengan kuku tunggal. Pada penyu jantan dewasa, kuku-kuku pada sirip depan umumnya lebih besar dibanding dengan yang dibelakang, dan secara fungsional berperanan penting pada saat kopulasi (untuk mencengkeram betina). Panjang ekor bervariasi, tergantung jenis kelaminnya. Jantan memiliki ekor yang sangat panjang dan bahkan melewati sirip belakangnya, sedangkan betina, umumnya berekor pendek dan jarang melewati bagian akhir karapas.

Pola warna penyu hijau bervariasi, walaupun banyak pengamat meyakini adanya keseragaman warna pada populasi yang ada di perairan Indonesia, (Tomascik et al, 1997). Pada penyu dewasa, baik jantan maupun betina, karapas biasanya berwarna olive-hijau dengan garis-garis atau bercak-bercak hitam, merah dan kuning. Plastron umumnya abu keputihan dengan nuansa kuning diberbagai lokasi. Tukik umumnya berkarapas hitam dengan tepi putih, sama dengan warna plastronnya (putih).

Penyu hijau (Chelonia mydas) di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Barat memiliki nama lokal ”Utik”. Penyu hijau yang masih muda memiliki sifat karnivora, setelah dewasa cenderung herbivora dengan memakan tumbuh-tumbuhan dan ganggang laut. Namun demikian Penyu Hijau secara umum tergolong herbivora, yang mencari makan pada daerah-daerah yang dangkal, dimana algae laut itu masih bisa tumbuh dengan baik.

Penyu hijau ini diketahui tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, dan masih dapat di temukan dalam jumlah yang besar di pesisir kecamatan bengkunat Kabupaten Lampung Barat. Berdasarkan dugaan populasi yang dilakukan pada tahun 2006, diperkirakan penyu hijau yang mendarat selama bulan Januari sampai Desember 2006 adalah sebanyak 135 ekor induk betina.

Mengenai reproduksi, penyu hijau diketahui mengikuti pola umum yang sejauh ini telah ditelilti oleh para ahli. Periode musim kawin pada penyu laut yang telah mencapai dewasa dilakukan dengan cara migrasi ke daerah sekitar penelurannya. Seekor jantan biasanya melakukan kopulasi dengan beberapa ekor betina.

Daerah peneluran utama bagi penyu hijau adalah pantai yang menghadap langsung ke Perairan Samudera yang di dalamnya memiliki gugusan terumbu karang yang berfungsi sebagai daerah makan dan pelindung sarang di pantai dari gelombang pasang yang besar. Gugusan terumbu karang merupakan tempat tumbuhnya tanaman-tanaman laut yang menjadi makanan utama Penyu Hijau (Mrosovky, 1967). Tersedianya makanan dan daerah peneluran yang utuh, merupakan hal yang pokok bagi kelestarian populasi penyu itu sendiri.

Seperti halnya di pesisir Lampung Barat, Penyu Hijau cenderung menyukai pantai yang berpasir tebal dan latar belakang hutan pantai yang lebat. Berdasarkan kajian habitat dan populasi penyu yang dilakukan pada tahun 2006, diketahui penyu hijau terlihat lebih senang bertelur di bawah vegetasi pantai yang disebut Kekatang oleh penduduk lokal.

Penyu Hijau bertelur waktu malam hari atau paling cepat pada hari menjelang malam. Kegagalan atau keberhasilan bertelur sangat tergantung pada individu dan situasi malam hari. Meskipun penyu mempunyai naluri untuk bertelur yaitu pada tengah malam, antara pukul 21.00 – 24.00 WIB. Keadaan yang gelap gulita dan tenang memang terjadi pada tengah malam sampai pukul 06.00 WIB. Penyu memilih daerah untuk bertelur pada dataran yang landai dan tidak terkena pasang. Setelah penyu selesai bertelur, ia kembali ke laut dengan meninggalkan telur-telur dalam sarang, dan telur akan menetas secara alamiah.

1 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

bagus bgt om bisa observasi penyu hijau,,,,,,,,, bisa ga om saya ikut observasi itu,,,,,,,,,,,,,????

anton.safutra@yahoo.com

Senin, 23 November, 2009  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda